Jumat, 06 November 2009

JALAK



 Jalak Suren

Jalak (Ingg. starling) adalah nama sekelompok burung pengicau dari suku Sturnidae. Burung yang umumnya berukuran sedang (sekitar 20-25 cm), gagah, dengan paruh yang kuat, tajam dan lurus. Berkaki panjang sebanding dengan tubuhnya. Bersuara ribut, dan berceloteh keras, terkadang meniru suara burung lainnya. Di alam, burung ini kebanyakan bersarang di lubang-lubang pohon.

Burung jalak relatif mudah dijinakkan. Dalam kandang burung ini sangat aktif bergerak dan berkicau. Karena itu penggemar burung kicau memelihara burung ini untuk melatih jenis burung kicau lain.
Memakan hampir seluruh jenis makanan. Diet utama di penangkaran biasanya berupa voer, buah pisang, kroto, dan serangga kecil.
Sangat sulit membedakan jalak jantan dan betina. Biasanya dilakukan pemeriksaan daerah kloaka. Jalak jantan memiliki bagian kloaka menonjol.

Terdapat sekitar 25 spesies jalak dan kerabat dekatnya, yaitu perling dan beo, di seluruh Indonesia. Beberapa jenis jalak yang sering dipelihara orang di antaranya:
  • Jalak suren (Sturnus contra)
  • Jalak putih (S. melanopterus)
  • Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
  • Jalak kerbau atau Kerak kerbau (Acridotheres javanicus)

Jalak Bali atau dalam nama ilmiahnya Leucopsar rothschildi adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang lebih kurang 25cm, dari suku Sturnidae. Jalak Bali memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang berwarna hitam. Jalak Bali memiliki pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa.
Endemik Indonesia, Jalak Bali hanya ditemukan di hutan bagian barat pulau Bali. Burung ini juga merupakan satu-satunya spesies endemik Bali, dimana pada tahun 1991 dinobatkan sebagai lambang fauna provinsi Bali. Keberadaan hewan endemik ini dilindungi undang-undang.
Bali Mynah - Houston Zoo.jpg
Jalak Bali ditemukan pertama kali pada tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan setelah pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, yang merupakan orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912.

Karena penampilannya yang indah dan elok, Jalak Bali merupakan salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas menyebabkan populasi Jalak Bali cepat menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program penangkaran Jalak Bali.

Jalak Bali dievaluasikan sebagai kritis di dalam IUCN Red List serta didaftarkan dalam CITES Appendix I.


BIAWAK


 Biawak air (Varanus salvator)



Biawak adalah sebangsa reptil yang masuk ke dalam golongan kadal besar, suku biawak-biawakan (Varanidae). Biawak dalam bahasa lain disebut sebagai bayawak (Sunda), menyawak atau nyambikberekai (Madura), dan monitor lizard atau goanna (Inggris).


Biawak banyak macamnya. Yang terbesar dan terkenal ialah biawak komodo (Varanus komodoensis), yang panjangnya dapat melebihi 3 m. Biawak ini, karena besarnya, dapat memburu rusa, babi hutan dan anak kerbau. Bahkan ada kasus-kasus di mana biawak komodo menyerang manusia, meskipun jarang. Biawak ini hanya menyebar terbatas di beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara, seperti di p. Komodo, p. Padar, p. Rinca dan di ujung barat p. Flores.

Biawak yang kerap ditemui di desa-desa dan perkotaan di Indonesia barat kebanyakan adalah biawak air dari jenis Varanus salvator. Panjang tubuhnya (moncong hingga ujung ekor) umumnya hanya sekitar 1 m lebih sedikit, meskipun ada pula yang dapat m

Biawak umumnya menghuni tepi-tepi sungai atau saluran air, tepian danau, pantai, dan rawa-rawa termasuk rawa bakau. Di perkotaan, biawak kerap pula ditemukan hidup di gorong-gorong saluran air yang bermuara ke sungai.

Biawak memangsa aneka serangga, ketam atau yuyu, berbagai jenis kodok, ikan, kadal, burung, serta mamalia kecil seperti tikus dan cerurut. Biawak pandai memanjat pohon. Di hutan bakau, biawak kerap mencuri telur atau memangsa anak burung. Biawak juga memakan bangkai, telur kura-kura, penyu atau buaya.

Biawak berkembang biak dengan bertelur. Sebelum mengawini betinanya, biawak jantan biasanya berkelahi lebih dulu untuk memperlihatkan penguasaannya. Pertarungan biawak ini unik dan menarik, karena dilakukan sambil ‘berdiri’. Kedua biawak itu lalu saling pukul atau saling tolak sambil berdiri pada kaki belakangnya, sehingga tampak seperti menari bersama.

Telur-telur biawak disimpan di pasir atau lumpur di tepian sungai, bercampur dengan daun-daun busuk dan ranting. Panas dari sinar matahari dan proses pembusukan serasah akan menghangatkan telur, sehingga menetas.

Biawak telah ratusan bahkan ribuan tahun diburu manusia. Orang terutama memanfaatkan kulitnya sebagai bahan perhiasan, dan dagingnya sebagai bahan makanan atau untuk obat. Pada waktu kini, perdagangan kulit biawak telah menghidupi beribu-ribu orang, mulai dari penangkap biawak di desa-desa, pengumpul, pengolah, eksportir, hingga industri kulit. Tidak kurang dari satu juta potong kulit biawak air dikumpulkan setiap tahunnya dari berbagai bagian dunia (Shine et al. 1996, Biological Conservation 77 : 125-134).

Biawak ditangkap orang dengan cara dijerat atau dikail. Jerat atau kail itu dipasang di tempat yang sering didatangi biawak. Seperti umumnya daging kadal, daging biawak juga dipercaya sebagai obat sakit kulit

Suku Varanidae terdiri atas dua kelompok yang sedikit berbeda, yalah dari marga Varanus yang besar (lebih dari 35 spesies di seluruh dunia), dan marga Lanthanotus yang sejauh ini berisi spesies tunggal L. borneensis dari Kalimantan. Marga yang kedua itu merupakan biawak yang bertubuh kecil (lk. 30 cm) dan tanpa lubang telinga.

BUNGLON



Bunglon atau Londok (bhs. Sunda)


Bunglon atau londok (bahasa Sunda) adalah sejenis reptil yang termasuk ke dalam suku (familia) Agamidae. Kadal lain yang masih sesuku adalah cecak terbang (Draco spp.) dan soa-soa (Hydrosaurus spp.).

Bunglon meliputi beberapa marga, seperti Bronchocela, Calotes, Gonocephalus, Pseudocalotes dan lain-lain. Bunglon bisa mengubah-ubah warna kulitnya, meskipun tidak sehebat perubahan warna chamaeleon (suku Chamaeleonidae). Biasanya berubah dari warna-warna cerah (hijau, kuning, atau abu-abu terang) menjadi warna yang lebih gelap, kecoklatan atau kehitaman.

Bunglon kebun yang berukuran sedang, berekor panjang menjuntai. Panjang total hingga 550 mm, dan empat-perlimanya adalah ekor. Gerigi di tengkuk dan punggungnya lebih menyerupai surai ("jubata" artinya bersurai) daripada bentuk mahkota, tidak seperti kerabat dekatnya B. cristatella (crista: jambul, mahkota). Gerigi ini terdiri dari banyak sisik yang pipih panjang meruncing namun lunak serupa kulit.

Kepalanya bersegi-segi dan bersudut. Dagu dengan kantung lebar, bertulang lunak. Mata dikelilingi pelupuk yang cukup lebar, lentur, tersusun dari sisik-sisik berupa bintik-bintik halus yang indah.
Dorsal (sisi atas tubuh) berwarna hijau muda sampai hijau tua, yang bisa berubah menjadi coklat sampai kehitaman bila merasa terganggu. Sebuah bercak coklat kemerahan serupa karat terdapat di belakang mulut di bawah timpanum. Deretan bercak serupa itu, yang seringkali menyatu menjadi coretan-coretan, terdapat di bahu dan di sisi lateral bagian depan; semakin ke belakang semakin kabur warnanya.

Sisi ventral (sisi bawah tubuh) kekuningan sampai keputihan di dagu, leher, perut dan sisi bawah kaki. Telapak tangan dan kaki coklat kekuningan. Ekor di pangkal berwarna hijau belang-belang kebiruan, ke belakang makin kecoklatan kusam dengan belang-belang keputihan di ujungnya.

Sisik-sisik bunglon surai keras, kasar, berlunas kuat; ekornya terasa bersegi-segi. Perkecualiannya adalah sisik-sisik jambul, yang tidak berlunas dan agak lunak serupa kulit.



Bunglon yang kerap ditemukan di semak, perdu dan pohon-pohon peneduh di kebun dan pekarangan. Sering pula didapati terjatuh dari pohon atau perdu ketika mengejar mangsanya, namun dengan segera berlari menuju pohon terdekat.

Reptil ini memangsa berbagai macam serangga yang dijumpainya: kupu-kupu, ngengat, capung, lalat dan lain-lain. Untuk menipu mangsanya, bunglon ini kerap berdiam diri di pucuk pepohonan atau bergoyang-goyang pelan seolah tertiup angin. Sering juga bunglon surai terlihat meniti kabel listrik dekat rumah, untuk menyeberang dari satu tempat ke tempat lain.

Bunglon surai bertelur di tanah yang gembur, berpasir atau berserasah. Seperti umumnya anggota suku Agamidae, induk bunglon menggali tanah dengan mempergunakan moncongnya. Kulit telurnya berwarna putih, lentur agak liat serupa perkamen.
Sebuah pengamatan yang dilakukan di hutan Situgede, Bogor mencatat bahwa telur bunglon surai dipendam di tanah berpasir di bawah lapisan serasah, persisnya di bawah semak-semak di bagian hutan yang agak terbuka. Telur sebanyak dua buah, lonjong panjang lk. 7×40 mm, diletakkan berjajar dan ditimbun tanah tipis. Di Gunung Walat, Sukabumi, didapati telur yang diletakkan di lapisan humus yang halus di tengah-tengah jalan setapak.

Di saat Bunglon merasa terancam, Ia akan mengubah warna kulitnya menjadi serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan. Fungsi penyamaran demikian disebut kamuflase. Hal ini berbeda dengan "mimikri", yakni penyamaran bentuk atau warna hewan yang menyerupai makhluk hidup lain.

Jumat, 30 Oktober 2009

TUPAI



Tupai adalah segolongan mamalia kecil yang mirip, dan kerap dikelirukan, dengan bajing. Secara ilmiah, tupai tidak sama --dan jauh kekerabatannya-- dengan keluarga bajing. Tupai banyak memangsa serangga, dan dahulu dimasukkan ke dalam bangsa Insectivora (pemakan serangga) bersama-sama dengan cerurut. Sedangkan bajing dan bajing terbang termasuk bangsa Rodentia (hewan pengerat) bersama-sama dengan tikus. Bajing merupakan salah satu hama kelapa.
 
Dalam bahasa Inggris, tupai disebut treeshrew, yang arti harfiahnya cerurut pohon (tree pohon, shrew arboreal, hidup di pohon. Tupai memiliki otak yang relatif besar. Rasio besar otak berbanding besar tubuh pada tupai adalah yang terbesar pada makhluk hidup, bahkan mengalahkan manusia.
 
Tupai pernah dipisahkan dari cerurut dan tikus bulan yang tetap berada dalam bangsa Insectivora, dan dipindahkan ke dalam bangsa Primata yang beranggotakan kukang, singapuar, monyet dan kera. Pemindahan ini karena kemiripan internal tupai dengan bangsa monyet itu, sehingga dianggap sebagai golongan primata awal. Namun menurut pendapat terbaru menyebutkan bahwa bangsa ini terdiri dari suku tunggal Tupaiidae, dengan dua anak suku: Tupaiinae dan Ptilocercinae. Ptilocercidae berisikan satu marga dan satu spesies saja, yakni tupai ekor-sikat Ptilocercus lowii. Sedangkan Tupaiidae memiliki 4 marga dan 19 spesies.

Pulau Kalimantan (Borneo) kemungkinan merupakan pusat keragaman jenis-jenis tupai, mengingat sebelas (12 jika Palawan dimasukkan) dari 20 spesies tupai di dunia dijumpai di sana.

Tupai kekes adalah sejenis mamalia kecil yang termasuk keluarga tupai (suku Tupaiidae. Di daerah yang berbahasa Sunda, hewan ini disebut kekes (kékés). Nama ilmiahnya Tupaia javanica (Horsfield, 1822), dan nama dalam bahasa Inggris Javan treeshrew.
Tupai yang bertubuh kecil ramping. Panjang kepala dan tubuh sekitar 15 cm atau kurang, ekor sekitar 18 cm (120% kepala dan tubuh).

Warna tubuh bagian atas mirip bajing kelapa (Callosciurus notatus) di Jawa Barat. Kuning-coklat abu-abu, dengan bintik-bintik bulu kehitaman. Di sekeliling mata dan di bahu terdapat warna kuning keputihan. Sisi perut dan di bawah kaki kekuningan sampai keputihan. Ekor panjang dan melebar, namun tidak menebal, coklat kuning dengan bintik-bintik kehitaman.

Hidup di hutan-hutan yang terbuka dan perkebunan, terutama di tempat dengan banyak pohon kecil. Tupai kekes aktif pada siang hari (diurnal), terutama di waktu pagi.

Sepintas, perilakunya serupa dan sukar dibedakan dari bajing kelapa. Apalagi kedua jenis hewan ini memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dan relung ekologis (ecological niche) yang bertumpang tindih. Agak pemalu, tupai kekes senang mencari makanan di pohon-pohon kecil atau perdu yang terbuka atau setengah terbuka. Makanannya terutama aneka serangga dan buah-buahan. Mungkin juga memakan hewan-hewan kecil lainnya. Sering pula mengunjungi pohon-pohon yang mati, untuk mencari serangga di balik kulit kayunya yang mengering Tupai kekes menyebar terbatas di Jawa, Bali, Sumatra barat (Kerinci), dan Pulau Nias.

Dua jenis lain yang mirip dan tumpang tindih dalam penyebaran, adalah:
  • Tupai akar (Tupaia glis). Berukuran sedikit lebih besar, cenderung lebih merah, dan banyak turun ke tanah atau menjelajahi kayu tumbang. Menyebar luas mulai dari Semenanjung Malaya di selatan Tanah Genting Kra, Sumatra, Jawa, Borneo dan Palawan di Filipina, serta di pulau-pulau kecil di sekitarnya.
  • Tupai kecil (Tupaia minor). Berukuran sedikit lebih kecil, ekor kurus dan panjang, dengan ujung yang lebih gelap dari warna tubuh. Menyebar di Semenanjung Malaya (termasuk di bagian Thailand), Sumatra, Borneo dan beberapa pulau kecil di sekitarnya.

  • Bajing kelapa (Callosciurus notatus) memiliki kepala yang lebih membulat, dan terdapat garis keputihan di sisi tubuh bagian bawah di antara kaki depan dan belakang. Di tangan, bajing kelapa memiliki gigi seri yang ‘tonggos’ panjang; sedangkan gigi tupai kecil-kecil dan meruncing serupa gigi cerurut.

BAJING





Bajing adalah nama umum bagi sekelompok mamalia pengerat dari suku Sciuridae. Dalam bahasa Inggris disebut squirrel. Dalam ilmu biologi, bajing tidak sama dengan tupai.

Kelompok ini adalah kelompok besar mamalia kecil, yang di Indonesia mencakup jenis-jenis jelarang, bajing terbang dan bajing pohon pada umumnya. Juga jenis-jenis bajing tanah, anjing prairi dan chipmunk. Dua golongan terakhir ini tidak didapati di Indonesia.

Bajing kelapa adalah sejenis mamalia kecil yang termasuk keluarga bajing (suku Sciuridae. Secara umum, di banyak tempat di Indonesia, hewan ini dikenal dengan nama bajing (saja) atau tupai (saja) dan juga tupai kelapa. Dua nama yang akhir ini secara ilmiah tidak tepat (lihat pada artikel tupai). Hewan ini dalam bahasa Inggris disebut Plantain squirrel. Sementara nama ilmiahnya adalah Callosciurus notatus.

Mamalia kecil arboreal dengan ekor seperti sikat ini panjang kepala dan tubuhnya (KT) 150-225 mm, dan ekornya 160-210 mm. Beratnya antara 150-280 gram. Sisi atas tubuh kecoklatan, dengan bintik-bintik halus kehitaman dan kekuningan. Di sisi samping tubuh agak ke bawah, di antara tungkai depan dan belakang, terdapat setrip berwarna bungalan (pucat kekuningan) dan hitam. Pada beberapa anak jenis, setrip ini agak pudar dan tak begitu mudah teramati di lapangan.

Sisi bawah tubuh (perut) jingga atau kemerahan, terang atau agak gelap. Kebanyakan anak jenis dideskripsikan dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan pada warna rambut di bagian ini, yang bervariasi mulai dari abu-abu sedikit jingga sampai coklat berangan gelap. Ekor coklat kekuningan berbelang-belang hitam. Terdapat variasi dengan ujung ekor berwarna kemerahan.

Bajing kelapa aktif di siang hari (diurnal). Seperti namanya, bajing ini sering ditemukan berkeliaran di cabang dan ranting pohon, atau melompat di antara pelepah daun di kebun-kebun kelapa dan juga kebun-kebun lainnya. Ia melubangi dan memakan buah kelapa, yang muda maupun yang tua, dan menjadi hama kebun yang cukup serius. Di samping itu, bajing kelapa juga memakan berbagai buah-buahan, pucuk, pepagan, dan aneka serangga yang ditemuinya. Dilaporkan pula bahwa bajing ini terkadang merusak kulit ranting karet untuk menjilati getahnya.

Hewan ini merupakan salah satu jenis mamalia liar yang paling mudah terlihat di kebun pekarangan, kebun campuran (wanatani), hutan sekunder, hutan kota dan taman, serta beberapa jenis hutan di dekat pantai. Bajing kelapa terutama menyebar luas di dataran rendah hingga wilayah perbukitan. Hewan yang tinggal berdekatan dengan pemukiman dapat menjadi terbiasa dengan manusia dan berani mendekati rumah, bahkan mengambil makanan yang disodorkan manusia.

Di pagi dan sore hari, kerap terdengar bunyinya yang tajam bergema, “ ..chek.. chek-cek-cek-cek-cek.. ”; atau bunyi tunggal nyaring “ .. chwit !”, yang dikeluarkannya sambil menggerak-gerakkan ekornya. Sarangnya sering ditemukan di lubang-lubang kayu atau di antara pelepah daun palma, berupa bola dari ranting dan serat tumbuhan berlapis-lapis. Bajing kelapa melahirkan anak hingga empat ekor, dan dapat beranak kapan saja sepanjang tahun.

Bajing kelapa didapati mulai dari Semenanjung Malaya (termasuk di wilayah Thailand), Sumatra, Borneo, Jawa, Bali dan Lombok, serta pulau-pulau di sekitarnya.

ELANG JAWA


Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)

Spesies elang ini berukuran sedang. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda.  Sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia
Panjang tubuhnya antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor).

Kepalanya berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm) dan tengkuk yang coklat kekuningan (kadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari). Dia memiliki Jambul hitam dengan ujung putih; mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongannya keputihan dengan garis-garis hitam membujur di tengahnya. Ke bawah, ke arah dada, berupa coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya berubah menjadi pola garis coret-coret rapat melintang merah sawomatang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekornya kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa, hanya sedikit lebih besar.

Iris matanya kuning atau kecoklatan; paruhnya kehitaman; sera  atau daging di pangkal paruhnya kekuningan; kaki dan jarinya kekuningan. Burung yang masih muda, kepala, leher dan sisi bawah tubuhnya berwarna coklat kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis.
 
Bunyinya nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.

Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat  hingga ujung timur. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng.


Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan  Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl.


Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan  hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.

Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas dia menyergap mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong , musang, sampai dengan anak monyet.

Masa bertelurnya tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarangnya berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telurnya berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.

Burung ini bersarang pada pohon yang tinggi dari  seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan kisireum (Eugenia clavimyrtus). Mereka membuat sarang tidak selalu jauh berada di dalam hutan, kadang ditemukan pula sarang-sarang yang hanya berjarak 200-300 m dari tempat rekreasi.

Spesies yang mulai terancam kelestariannya ini tengah menghadapi ancaman yang besar. Kehilangan habitat akibat pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa. Ancaman lainnya adalah perburuan yang terus dilakukan untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Mungkin karena kelangkaannya,  maka memelihara  burung ini dianggap mempunyai kebanggaan tersendiri, sehingga  harga burung ini melambung tinggi.

Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan elang Jawa ke dalam status EN (Endangered, terancam kepunahan). Demikian pula, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang.

Sesungguhnya keberadaan elang Jawa telah diketahui sejak tahun 1820,  Akan tetapi pada masa itu hingga akhir abad-19, spesimen-spesimen burung ini masih dianggap sebagai jenis elang brontok. Baru di tahun 1908, atas dasar spesimen koleksi yang dibuat oleh  Max Bartels dari Pasir Datar, Sukabumi pada tahun 1907, seorang pakar burung di Negeri Jerman, O. Finsch, mengenalinya sebagai dikenal sebagai takson yang baru. Sampai kemudian pada tahun 1924, mendapat nama takson baru tengan epitet spesifik bartelsi, dan memasukkannya sebagai anak jenis elang gunung Spizaetus nipalensis.


Burung ini kemudian dikenal dunia dengan nama ilmiah Spizaetus nipalensis bartelsi, hingga akhirnya pada tahun 1953 D. Amadon mengusulkan untuk menaikkan peringkatnya dan mendudukkannya ke dalam jenis yang tersendiri, Spizaetus bartelsi.


OWA JAWA




Owa Jawa (Hylobates moloch)


Hewan yang Keberadaannya masuk dalam status “terancam punah” ini malah banyak yang memburu hanya untuk dipelihara. Rupanya Pemberian status terancam ini justru menarik masyarakat memburunya demi keuntungan pribadi.


Owa Jawa merupakan kera kecil dengan warna rambut abu-abu yang memiliki nyanyian indah. Primata endemik Jawa ini hidup monogami (berpasangan) dengan sistem keluarga. Sebagian besar makanannya terdiri dari buah sehingga membuat mereka dikategorikan sebagai primata frugivor. Mereka termasuk satwa arboreal yang menghabiskan hampir seluruh waktunya diantara rimbunnya pohon. Seperti banyak satwa lainnya Owa Jawa merupakan satwa teritorial yang mempertahankan wilayah kekuasaan mereka.

Primata yang sebagian besar hidup di hutan-hutan di Jawa Barat ini, dan Sebagian kecil ditemui juga di Jawa Tengah, Gunung Slamet, dataran tinggi Dieng dan Jawa Timur., usia nya bisa mencapai umur 20 tahun. Keberadaan hewan ini bisa ditandai dari "nyanyiannya." Teriakkan atau nyanyiannya itu sekaligus berfungsi untu menandai wilayah teritorialnya yang juga merupakan area mencari makannya.


Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat, tepatnya di resort Bodogol, terdapat pusat rehabilitasi Owa Jawa. Owa Jawa yang masuk rehabilitasi biasanya berumur tujuh tahun. Rehabilitasi Owa Jawa perlu dilakukan secara bertahap agar dapat mengembalikan kemampuan survival Owa Jawa yang telah lama dipelihara oleh masyarakat.


Kepunahan primata endemik Pulau Jawa di habitat alaminya, ini sebenarnya dapat diperlambat. Di antaranya, melalui keberpihakan pemerintah mempertahankan hutan tersisa di Jawa.


Ada dua perkiraan populasi owa jawa pada tahun 2004 (dua penelitian terpisah), masing-masing kisaran 4.000-4.500 dan 2.600-5.304 ekor. Badan Konservasi PBB mengategorikan terancam punah bagi primata yang sempat berstatus kritis (tahun 1996-2000) itu.


Sebaran owa jawa di Jawa Tangah meliputi kawasan cagar alam Gunung Slamet dan Linggojati dan Sokakembang di Pekalongan. Perjumpaan tak langsung terjadi di kawasan Sekarlangit, tak jauh dari Pekalongan.


Sedangkan di Jawa Barat mulai dari Taman Nasional Ujung Kulon, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, cagar alam Gunung Burangrang, Gunung Tilu, Gunung Simpang, Gunung Papandayan, dan Sancang.


Kerusakan hutan hampir di semua lokasi cagar alam atau hutan lindung, seperti di cagar alam Sancang dan Papandayan, serta di Sokakembang turut memberi andil bagi percepatan klepunahan primata ini. Owa jawa secara alami tinggal di ketinggian pohon. Namun, kondisi habitatnya yang semakin tidak kondusif, seringkali dijumpai Owa jawa yang turun ke lantai hutan, sehingga memudahkan bagi para pemburu liar untuk menangkapnya.