Jumat, 30 Oktober 2009

ELANG JAWA


Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)

Spesies elang ini berukuran sedang. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda.  Sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia
Panjang tubuhnya antara 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor).

Kepalanya berwarna coklat kemerahan (kadru), dengan jambul yang tinggi menonjol (2-4 bulu, panjang hingga 12 cm) dan tengkuk yang coklat kekuningan (kadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari). Dia memiliki Jambul hitam dengan ujung putih; mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongannya keputihan dengan garis-garis hitam membujur di tengahnya. Ke bawah, ke arah dada, berupa coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya berubah menjadi pola garis coret-coret rapat melintang merah sawomatang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Bulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekornya kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa, hanya sedikit lebih besar.

Iris matanya kuning atau kecoklatan; paruhnya kehitaman; sera  atau daging di pangkal paruhnya kekuningan; kaki dan jarinya kekuningan. Burung yang masih muda, kepala, leher dan sisi bawah tubuhnya berwarna coklat kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis.
 
Bunyinya nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.

Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat  hingga ujung timur. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa. Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng.


Elang Jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan  Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl.


Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan  hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.

Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas dia menyergap mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong , musang, sampai dengan anak monyet.

Masa bertelurnya tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarangnya berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telurnya berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.

Burung ini bersarang pada pohon yang tinggi dari  seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan kisireum (Eugenia clavimyrtus). Mereka membuat sarang tidak selalu jauh berada di dalam hutan, kadang ditemukan pula sarang-sarang yang hanya berjarak 200-300 m dari tempat rekreasi.

Spesies yang mulai terancam kelestariannya ini tengah menghadapi ancaman yang besar. Kehilangan habitat akibat pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian telah menyusutkan tutupan hutan primer di Jawa. Ancaman lainnya adalah perburuan yang terus dilakukan untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai satwa peliharaan. Mungkin karena kelangkaannya,  maka memelihara  burung ini dianggap mempunyai kebanggaan tersendiri, sehingga  harga burung ini melambung tinggi.

Mempertimbangkan kecilnya populasi, wilayah agihannya yang terbatas dan tekanan tinggi yang dihadapi itu, organisasi konservasi dunia IUCN memasukkan elang Jawa ke dalam status EN (Endangered, terancam kepunahan). Demikian pula, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang.

Sesungguhnya keberadaan elang Jawa telah diketahui sejak tahun 1820,  Akan tetapi pada masa itu hingga akhir abad-19, spesimen-spesimen burung ini masih dianggap sebagai jenis elang brontok. Baru di tahun 1908, atas dasar spesimen koleksi yang dibuat oleh  Max Bartels dari Pasir Datar, Sukabumi pada tahun 1907, seorang pakar burung di Negeri Jerman, O. Finsch, mengenalinya sebagai dikenal sebagai takson yang baru. Sampai kemudian pada tahun 1924, mendapat nama takson baru tengan epitet spesifik bartelsi, dan memasukkannya sebagai anak jenis elang gunung Spizaetus nipalensis.


Burung ini kemudian dikenal dunia dengan nama ilmiah Spizaetus nipalensis bartelsi, hingga akhirnya pada tahun 1953 D. Amadon mengusulkan untuk menaikkan peringkatnya dan mendudukkannya ke dalam jenis yang tersendiri, Spizaetus bartelsi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar